Maret, Di Sebuah Jalan
Puji Tuhan, masih kusaksi ribuan camar yang riang bergelayutan pada angin dan dahan dahan kering
merayakan perkabungan fajar ketika pagi mengguritkan matahari di tubuh langit
meski warna hutan hutan yang tak lagi cerlang, mulai kusam
dan pudar dirayapi sejarah yang tak tercatat dalam kalender perjalanan
sebab ditinggal pergi hukum alam yang ikut tertanam di bawah cangkup makam nenek moyang
tapi Puji Tuhan, kembaraku telah tiba pada detik yang kesekian, pada sebuah jalan
yang entah dimana muara penantian menyibakkan hujan dan luka luka panjang
atas pelabuhan akhir di ufuk malam
-jika Kau perkenankan-
Paiton, 12 Maret 2011
Di Tengah Perjalanan; Pada Musim Kelahiran
Di tengah perjalanan, angka-angka yang liar berebutan tempat di baris terdepan. Mencatat sendiri jejak langkahnya yang masih tertinggal. Sebagai usia yang makin purba, sebagai jasad yang belum sempurna. Untuk membaca tanda-tanda kematian.
“Tuhan, maka biarkanlah usia-usia yang masih tersisa. Menyimpan namaMu sebagai muara segala kembara!”
Jalan-jalan mulai menjelma jurang, takdir yang dingin, luka yang mulai mengering, dan segala hal yang mesti kucatat sebagai lembar perjalanan yang belum usai. Sebab kita dilahirkan untuk bernafas sebagai pemenang, atau lengah dan terjungkal pada lembah kecemasan.
Sebab perjalanan adalah titian panjang dengan petak-petak pilihan, antara api dan sampah. Aku menapakinya sebagai tanjakan yang mengantarkan pada rumah, tempat segala istirah. Tentu bukan sampah yang ranggas sebelum kalah.
“Tuhan, maka biarkanlah usia-usia yang masih tersisa. Merangkai dirinya sendiri sebagai doa-doa yang paling Surga!”
Maka di tengah perjalanan, kuundang segalanya, langit, bumi, malakat, dan kau. Untuk berpesta bersama angka-angka yang kian purba, merayakan musim kelahiran, membaca tanda-tanda kematian. Agar kita senantiasa bersiap-diri; mengubur kecemasan, membakar ketakutan, dan menuntaskannya sebagai pemenang.