Puji Tuhan, masih kusaksi ribuan camar yang riang bergelayutan pada angin dan dahan dahan kering

merayakan perkabungan fajar ketika pagi mengguritkan matahari di tubuh langit



meski warna hutan hutan yang tak lagi cerlang, mulai kusam

dan pudar dirayapi sejarah yang tak tercatat dalam kalender perjalanan

sebab ditinggal pergi hukum alam yang ikut tertanam di bawah cangkup makam nenek moyang



tapi Puji Tuhan, kembaraku telah tiba pada detik yang kesekian, pada sebuah jalan

yang entah dimana muara penantian menyibakkan hujan dan luka luka panjang

atas pelabuhan akhir di ufuk malam

-jika Kau perkenankan-



Paiton, 12 Maret 2011



Di Tengah Perjalanan; Pada Musim Kelahiran



Di tengah perjalanan, angka-angka yang liar berebutan tempat di baris terdepan. Mencatat sendiri jejak langkahnya yang masih tertinggal. Sebagai usia yang makin purba, sebagai jasad yang belum sempurna. Untuk membaca tanda-tanda kematian.



“Tuhan, maka biarkanlah usia-usia yang masih tersisa. Menyimpan namaMu sebagai muara segala kembara!”



Jalan-jalan mulai menjelma jurang, takdir yang dingin, luka yang mulai mengering, dan segala hal yang mesti kucatat sebagai lembar perjalanan yang belum usai. Sebab kita dilahirkan untuk bernafas sebagai pemenang, atau lengah dan terjungkal pada lembah kecemasan.



Sebab perjalanan adalah titian panjang dengan petak-petak pilihan, antara api dan sampah. Aku menapakinya sebagai tanjakan yang mengantarkan pada rumah, tempat segala istirah. Tentu bukan sampah yang ranggas sebelum kalah.



“Tuhan, maka biarkanlah usia-usia yang masih tersisa. Merangkai dirinya sendiri sebagai doa-doa yang paling Surga!”



Maka di tengah perjalanan, kuundang segalanya, langit, bumi, malakat, dan kau. Untuk berpesta bersama angka-angka yang kian purba, merayakan musim kelahiran, membaca tanda-tanda kematian. Agar kita senantiasa bersiap-diri; mengubur kecemasan, membakar ketakutan, dan menuntaskannya sebagai pemenang.

Hal amat penting dari pembicaraan tentang negara adalah hubungan negara dengan agama. Wacana ini mendiskusikan bagaimana posisi agama dalam konteks negara modern (nation states). Sampai hari ini wacana hubungan negara dan agama masih terus berlangsung secara dinamis.

Hubungan agama dan negara dalam konteks dunia Islam masih menjadi perdebatan yang intensifdi kalangan para pakar Muslim hingga kini. MenurutAzyumardi Azra, perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan masih berlangsung hingga dewasa ini. Menurut Azra, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara dalam Islam disulut oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah). Berbagai eksperimen telah dilakukan untuk menyelaraskan antara din dan dawlah dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim. Seperti halnya percobaan demokrasi di sejumlah negara di dunia, penyelarasan din dan dawlah dibanyak negeri-negeri Muslim telah berkembang secara beragam. Perkembangan wacana demokrasi di kalangan negara-negara Muslim dewasa ini semakin menambah maraknya perdebatan Islam dan negara.

Perdebatan Islam dan negara berangkat dari pandangan dominan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang mengatur semua kehiduapan manusia, termasuk persoalan politik. Dari pandang Islam sebagai agama yang komprehensif ini pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama (din) dan politik (dawlah). Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad di Madinah. Di kota hijrah ini, Nabi Muhammad berperan ganda, sebagai seorang pemimpin agama sekaligus sebagai kepala negara yang memimpin sebuah sistem peme­rintahan awal Islam yang, oleh kebanyakan pakar, dinilai sangat modern di masanya.

Posisi ganda Nabi Muhammad di kota Madinah disikapi beragam oleh kalangan ahli. Secara garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah Islam identik dengan negara atau sebaliknya Islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tentang bentuk negara, menginat sepeninggal Nabi Muhammad tak seorang pun dapat menggantikan peran ganda beliau, sebagai pemimpin dunia yang sekuler dan si penerima wahyu Allah sekaligus.

Menyikapi realitas perdebatan tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi Nabi saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (al Kitab) bukan sebagai penguasa. Menurut Ibnu Taimiyah, kalaupun ada pemerintahan, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu sendiri. Dengan ungkapan lain, politik atau negara dalam Islam hanyalah sebagai alat bagi agama bukan eksistensi dari agama Islam. Pendapat Ibnu Taimiyah ini dipertegas dengan ayat al-Quran (57: 25) yang artinya: "Sesunggubnya Kami telab mengutus Rasul-rasul Kami yang disertai keterangan-keterangan, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan timbangan, agarmanusia berlaku adil, dan Kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang bebat dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahuisiapayangmenolong-Nya dan (menolong) Rasul-Nya yang ghaib (daripadanya). 

Dari ayat ini, Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan "pedang" penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri. Politik tidak lain sebatas alat untuk mencapai tujuan-tujuan luhur agama.

Mengelaborasi pandangan Ibn Taimiyah diatasAhmad SyafTi Maarif menjelaskan bahwa istilah dawlah yang berarti negara tidak dijumpai dalam al Quran. Istilah dawlah memang ada dalam al-Quran pada surat al-Hasyr (QS. 59: 7) tetapi ia tidak bermakna negara. Istilah tersebut dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan.

Pandangan sejenis pernah juga dikemukana oleh beberapa modernis Mesir antara lain Ali Abdul Raziq dan Mohammad Husein Haikal. Menurut Haikal, prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh al-Quran dan al Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam Islam tidak terdapat suatu sistem pemerintahan yang baku. Ummat Islam bebas menganut sistem pemerintahan apapun asalkan sistem tersebut menjamin persa­maan antara para warga negaranya, baik hak maupun kewajiban dan persamaan di hadapan hukum, dan pelaksanaan urusan negara diselenggarakan atas dasar musyawarah (syura) dengan berpe­gang kepada tata nilai moral dan etika yang diajarkan Islam.

Hubungan Islam dan negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan kedalam tiga pandangan: integralistik, simbiotik dan sekularistik.

    Paradigma Integralistik

Paradigma integralistik hampir sama persis dengan pandangan negara teokrasi Islam. Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (inte­grated). Faham ini juga memberikan penegasan bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah).

Dalam pergulatan Islam dan negara modern, pola hubungan integratifini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma integralistik identik dengan paham Islam ad-Din wa dawlah, yang sumber hukum positifnya adalah hukum Islam (syari'ah Islam). Paradigma Integralistik ini antara lain dianut oleh negara kerajaan Saudi Arbia dan kelompok Islam Syi'ah di Iran. Kelompok pencinta Ali R.A ini menggunakan istilah imamah sebagai dimaksud dengan istilah dawlah yang banyak dirujuk kalangan ulama sunni.

    Paradigma Simbiotik

Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (symbiosis mutualfta). Dalam konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitujuga sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas warga negaranya Paradigma simbiotik nampaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah tentang negara sebagai alat agama diatas. Dalam kerangka ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang pal­ing besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut meligitimasi bahwa antara agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya kontrak sosial (social con­tract) tetapi bisa diwarnai oleh hukum agama (syari'at). Dengan kata lain, agama tidak mendominasi kehidupan bernegara, sebaliknya ia menjadi simber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Model pemerintahan negara Mesir and Indonesia dapat digolongkan kepada kelompok paradigma ini.

    Paradigma Sekularistik

Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain malakukan intervensi. Negara adalah urusan publik, sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing individu warga negara.

Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract yang tidak terkait sama sekali dengan hukum agama (syari'ab). Konsep sekularistik dapat ditelusuri pada pandangan Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah SAW pun tidak ditemukan keinginan Nabi Muhammad untuk men-dirikan negara Islam. Negara Turki sekuler kreasi Kemal Ataturk dapat digolongkan kedalam paradigma ini.

 Hubungan Agama dan Negara di Negara-negara Muslim

Realitas yang terjadi pada negara-negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas muslim adalah kesulitan dalam upaya menciptakan titik temu antara Islam dan negara. Akibatnya, negara-negara tersebut mengalami perbedaan-perbedaan dalam menerjemahkan Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai negara. Berikut adalah contoh beberapa negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas muslim dalam menerjemahkan hubungan agama dan negara:

1. Arab Saudi

Sejarah negeri Saudi bermula di sekitar 1750. Salah satu penguasa pemerintah sebuah wilayah di Arab Saudi, Muhamad Bin Saud, bergabung dengan seorang reformis Islam, Muhammad ibn Abd al Wahhab (pendiri gerakan Wahabi), untuk menciptakan satu entitas politik baru yang kemudian dikenal dengan negara Arab Saudi. Arab Saudi modern kemudian dipimpin oleh Raja Abdul Aziz Al-Saud.

Pengalaman Negara-negara muslim yang beraneka ragam dalam merumuskan hubungan agama dan Negara semakin mempertegas perlunya sikap arif dan bijak dalam merespon segala perbedaan termasuk dalam beragama dan bernegara.

Arab Saudi adalah negara monarchy atau berbentuk kerajaan bahkan dapat disebut dengan monarki absolut. Kerajaan Arab Saudi menjadikan Quran sebagai undang-undang dasar negara sementara sistem hukum dasarnya adalah syariah dengan ulama-lama sebagai hakim-hakim dan penasehat-penasehat hukum­nya. Partai politik adalah hal yang dilarang di negeri yang berideologi wahabiyah ini dan pemilihan umum adalah sesuatu yang tidak dikenal.

Kepala negara adalah seorang raja yang dipilih oleh dan dari 'keluarga besar Saudi. Dalam jabatannya sebagai seorang raja, diajuga merupakan kepala keluarga besar Saudi yang terdiri dari ribuan pangeran, yang paling dituakan di antara kepala-kepala suku atau qabilah yang terdapat dalam wilayah kerajaan, pemuka para ulama yang merupakan penasehat-penasehatnya dalam urusan agama dan yang terakhir sebagai pelayan dari dua tanah suci, Makkah dan Madinah. Raja, dengan dibantu oleh dewan menteri mengawasi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Arab Saudi tidak memiliki dewan perwakilan rakyatyang dipilih oleh rakyat danjuga tidak memiliki partai politik. Majelis syura ygng anggotanya dipilih dan diangkat oleh raja  adalah yang berfungsi seperti dewan perwakilan rakyat dan partai politik sekaligus. Dengan demikian, Arab Saudi tidak memberlakukan partai politik dan tidak mengenal pemilihan umum sebagaimana di negara-negara lain.

Hubungan agama dan negara di Arab Saudi dapat dikatakan sebagai hubungan yang integralistik karena menjadikan Islam sebagai agama resmi negara sekaligus sebagai sistem politik, hukum, ekonomi, dan budaya. Negara ini meyakini Islam sebagai agama yang memiliki sistem politik, ekonomi, hukum sekaligus budaya yang menjadi kewajiban untuk menerpakannya. Sesungguhnya pemahaman keagamaan dengan model yang diterapkan oleh Arab Saudi ini tidak dapat dilepaskan dari paham wahabiyah di wilayah ini.

2. Pakistan

Pakistan yang didirikan pada tahun 1947 dan menetapkan konstitusi pertamanya pada tahun 1956 sebagai Republik Islam. Pemerintah militer dan sipil, partai-partai politik keagamaan dan sekuler, serta gerakan-gerakan dengan berbagai agenda dan kepentingan yang saling bersaing telah mengaitkan diri dengan Islam untuk memperkuat legitimasi mereka mendukung berebagai kepentingan politik, ekonomi, dan golongan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh John L. Esposito dan John 0. Voll, dalam sejarahnya di Pakistan, Islam telah dimanfaatkan dengan berbagai cara untuk melegitimasi baik pemerintah maupun gerakan oposisi dan merasionalisasikan beragam pilihan, dari demokrasi hingga otoritarianisme politik dan agama. Sejak kelahirannya, negara ini selalu diwarnai oleh pergolakan politik dan perselisihan tentang islam yang memang selalu menjadi isu yang hangat dan aktual.

Menurut Undang-undang dasar negara ini pada pasal 198 tahun 1956 memerintahkan untuk pembentukan dua lembaga. Dewan penasihat tentang Ideologi Islam dan Lembaga Penelitian Islam, tugas lembaga yang pertama adalah; 1. Memberikan rekomendasai kepada pemerintah mengenai cara-cara mendorong umat Islam untuk dapat mengikuti pola hidup yang sesuai dengan ajaran Islam; 2. Memberikan nasihat kepada pemerintah apakah suatu rancangan undang-undang bertentangan dengan Islam atau tidak.

Sebagaimana umumnya negara yang berbentuk republik, pimpinan eksekutiftertinggi dijabat oleh presiden yang dipilih berdasarkan partai politik. Dewan perwakilan rakyat juga dipilih melalui pemilu yang diadakan secara periodik yang diikuti oleh banyak partai politik. Islam adalah agama mayoritas di negeri yang sekarang dipimpin olehJenderal Musharraf ini.sekaligus sebagai agama negara. Sejak pertama kali berdiri hingga saat ini, guncangan demi guncangan politik terus terjadi yang mengggambarkan persaingan sengit antara kelompok Islam di satu sisi dan kelompok sekuler atau sosialis di sisi yang lain.

3. Iran

Republik Islam Iran saat ini adalah kelanjutan dari pemerintahan yang dihasilkan sebuah revolusi Islam yang diistilahkan oleh John L. Esposito dan John 0. Voll sebagai salah satu pemberontakan rakyat terbesar dalam sejarah manusia. Berawal dari kekuasaan yang didominasi oleh Dinasti Pahlevi (1925-1979) dibawah Reza Syah (1925-1941) dan putranya Mohammad Reza Syah (1941-1979), Iran modern dibentuk. Iran di bawah kekuasaan Dinasti Pahlevi adalah "kerajaan" suatu dinasti dan bukan republik, sebuah negara modern yang kebijakan-kebijakanya dan tujuannya adalah memperkuat integrasi nasional dan bukan partisipasi politik. Dengan kata lain, Iran di bawah Dinasti Pahlevi adalah negara yang diperintahkan secara represif dan otoriter hingga akhirnya muncul pemberontakan yang dimotori oleh Ayatullah Khomeini dengan semangat dan janji untuk mewujudkan masyarakat yang lebih demokratis dan berkeadilan sosial di bawah panji-panji Islam. Revolusi menjanjikan kebebasan dari kelaliman pemerintahan otokrasi Syah.

Iran paska revolusi adalah Iran yang mencoba membangun negara dengan agama sebagai kekuatan utamanya. Ajaran Syiah yang dipeluk secara mayoritas bangsa Iran kemudian menjadi identitas bangsa Iran dan sumber legitimasi politik yang paling penting. Perubahan konstitusional dan institusional yang substantif dilakukan melalui pemilihan umum. Referendum pada Maret 1979 mengubah pemerintahan Iran dari Monarkhi menjadi republik Islam, majelis Ahli yang didominasi oleh ulama dipilih untuk membuat rancangan konstitusi yang akan disahkan melalui referendum rakyat. Hasilnya adalah pemerintahan Iran menggu­nakan konsep wilayatui faqih atau pemerintahan oleh ahli hukum yang berarti memberikan wewenang tertinggi kepada ulama dalam menjalankan dan mengarahkan pemerintahan negara.

Meskipun presiden dipilih secara langsung yang mewakili kedaulatan rakyat, Faqih mewakili kedaulatan llahi dari hukum tuhan. Meskipun tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, faqih dipilih oleh majelis tinggi, yang anggota-anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam tugasnya, Faqih akan dibantu oleh Dewan Pelindung beranggotakan dua belas ahli hukum Islam, enam dipilih Khomeini dan lainnya dipilih oleh parlemen. Dewan ini bertugas mengawasi pemilihan presiden dan parlemen (Majelis Permusyawarahan Nasional, atau majlis-i-syura), menafsirkan konstitusi, dan memastikan kesesuaian antara setiap perundang-undangan dengan hukum dan konstitusi Islam. Bahkan berdasarkan konstitusi, dewan pelindung ini dibekali dengan hak veto atas produk undang-undang dari parlemen yang dinilai tidak islami. Selain itu pula, dibentuk Dewan Pengadilan Tertinggi yang didominasi oleh para rnujtahid atau ahli hukum Islam.

Jadi, Iran adalah sebuah negara yang berusaha menjadi agama sebagai faktor yang integral dalam sebuah negara. Agama diyakini memiliki konsep dan sistem bernegara. Meskipun demikian, Iran adalah contoh sebuah upaya penggabungan unsur-unsur teokrasi yang berbasis pada agama (Syiah) di satu sisi dan unsur-unsur republik. Meskipun upaya pencampuran itu tidak selamanya berlangsung damai dan nor­mal, Iran dapat menjadi prototipe dari hubungan agama dan negara dalam bentuknya yang paling ekiektis. Meskipun formalisasi dan simbolisasi agama terjadi hampir di seluruh bentuknya, Iran memberikan jaminan konstitusional terhadap minoritas (Majusi, Yahudi, dan kristen) untuk menjalankan ritus-ritus keagamaan mereka dan menangani perkara pribadi dan pendidikan mereka menurut kepercayaan masing-masing. Selain itu, Iran juga memberikan ruang yang relatifterbuka kepada pers dan masyarakat untuk berekspresi. pemerintahan Iran menggunakan konsep wilayatul faqih atau pemerintahan oleh ahli hukum yang berarti memberikan wewenang tertinggi kepada ulama dalam menjalankan dan mengarahkan pemerintahan Negara

4.  Malaysia

Malaysia adalah sebuah masyarakat multietnik dan multiagama tempat bangsa Melayu merupakan 45% dari seluruh penduduknya, namun mempunyai kekuatan politik dan budaya yang dominan. Sisanya terdiri dari berbagai kelompok etnik dan keagamaan, dan yangterbesar adalah komunitas Cina (35%) dan India (10%). Islam dan identitas nasional serta politik Melayu telah lama saling berkelindan, seperti tercermin dalam keyakinan umum bahwa orang melayu mestilah Islam.

Malaysia merupakan federasi negara-negara bagian, sebuah pemerintahan yang secara resmi bersifat pluralistik dengan Islam sebagai agama resmi, dan kaum muslim Malaysia menikmati kedudukan istimewanya. Meskipun partisipasi partai-partai Islam dalam pemilihan umum dan kiprah mereka sebagai oposisi yang sah merupakan fenomena yang relatif baru di kebanyakan negara muslim, selama bertahun-tahun partai-partai politik itu telah bersaing dengan partai pemerintah UMNO,  juga bersaing satu sama lain, dalam proses politik. Berbeda dengan beberapa sistem politik di Timur Tengah yang tidak mengizinkan partai-partai Islam dan beberapa gerakan Islam kemudian melakukan perlawanan dengan tindak kekerasan, dalam sistem Malay­sia terdapat sebuah partai penguasa yang dominan yang mengakui keberadaan dan partispiasi politik dari kelompok-kelompok Islam yang berperan sebagai pihak oposisi nonsektarian.

Hubungan antara agama (Islam) dan negara dengan watak yang lebih kompromistis-harmonis secara baik ditunjukkan oleh Malaysia. Islam menjadi agama resmi dengan menjadikan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum positifyang berlaku di Malaysia.

Hubungan antara agama (Islam) dan negara dengan watak yang lebih kompromistis-harmonis secara baik ditunjukkan oleh Malaysia. Islam menjadi agama resmi dengan menjadikan hukum Islam sebagai salah satu sumberhukum positifyang berlaku di Malaysia.

 Hubungan Agama dan Negara di Eropa dan Amerika

Hubungan agama dan negara di Amerika dan di Eropa adalah sebuah sejarah yang sangat panjang dan menarik untuk disimak. Hubungan agama dan negara di Eropa dan Amerika masing-masing memiliki sejarah dan pola hubungan yang berbeda dengan ciri khasnya masing-masing.

Di Eropa, pada abad pertengahan, Gereja memiliki peran yang sangat dominan dalam politik. Gereja banyak terlibat dalam urusan bagaimana mengelola negara karena antara agama dan politik menyatu pada otoritas yang tunggal, yakni Gereja. Gereja Katolik pada waktu itu menjelma bukan saja menjadi agama yang mengajarkan nilai ketuhanan dan moral melainkan juga sebagai sebuah institusi politik yang memiliki banyak wewenang. Gereja katholik punya pasukan sendiri, punya polisi moral dan polisi pidana, dan sebagainya persis sebagaimana sebuah negara.

Sejarah kekuasaan Gereja ini berakhir akibat terjadinya penyelewengan-penyelewengan yang menimbulkan banyak reaksi besar bahkan berdarah-darah. Muncul dan berkembangnya gerakan renessaince bukan saja mengakhiri kekuasaan Gereja atas agama dan politik, sekaligusjuga awal dimulainya babakbaru pemisahan hubungan antara agama dan politik. Agama benar-benar dipisahkan secara ekstrim dari politik sebagai akibat trauma masa lalu. Karena itu, isu yang kemudian muncul dan berkembang di Eropa hingga saat ini adalah sekularisasi yang ekstrim antara agama dan politik.

Saat ini, negara-negara di Eropa menerapkan secara ketat apa yang disebut dengan sekularisasi, yakni pemisahan secara tegas antara peran agama dan politik. Praktek dan kewenangan politik sepenuhnya diserahkan kepada negara yang sedangkan agama memiliki kewenangan hanya untuk mengurus Gereja, tidak lebih. Dalam perkembangannya, sekularisme menjadi konsep yang diyakini sangat tepat, bukan hanya dalam meredam konflik dan ketegangan antara kuasa agama dan negara, tapijuga dalam memberikan landasan pada demokrasi dan persamaan hak.

Tidak seperti di Eropa yang didominasi oleh sejarah Katolik, di Amerika lebih didominasi oleh sejarah kristen protestan. Amerika dibangun dan dimulai dari para pendatang yang pertama kali menginjakkan kaki ke benua itu yang terdiri dari banyak kelompok denominasi agama khususnya Kristen. Agama Kristen Protestan adalah agama yang sejak awal cukup dominan yang umumnya adalah pelarian negara-negara di Eropa menerapkan secara ketat apa yang disebut dengan sekularisasi, yakni pemisaban secara tegas antara peran agama dan politik. Praktekdan kewenangan politik sepenuhnya diserahkan kepada negarayang sedangkan agama memiliki kewenangan hanya untuk mengurus Gereja, tidak lebih dari eropa yang dihegemoni oleh "Negara Katolik".

Sejak awal di Amerika sudah menerapkan prinsip seku­larisasi atau pemisahan otoritas agama dan politik. Namun demikian, meskipun Amerika adalah negara sekuler atau konstitusinya sekuler namun bukan berarti agama tidak memiliki peran. Agama tetap menjadi faktor dalam banyak kehidupan bernegara. Jadi, Amerika memisahkan hubungan antara agama dan politik baik secara struktural maupun organisasional. Negara menyerahkan segala hal terkait dengan agama pada masyarakat sebagai persoalan yang privat-individual. Sebaliknya, agama menyerahkan segala hal terkait dengan politik dan kekuasaan yang mengelilinginya kepada pemerintah yang dalam prosesnya dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Praktek sekularisasi di Amerika ini berjalan secara konsisten hingga saat ini, sehingga kita jarang mendengar adanya konflik antara agama dan negara karena berebut pengaruh dan kewenangan.

Hubungan Negara dan Agama: Pengalaman Islam Indonesia

Indonesia dikenal sebagai negeri Muslim terbesar di dunia. Uniknya Indonesia bukanlah sebuah negara Islam. Dari keunikan ini perdebatan pola hubungan Islam dan negara di Indonesia merupakan perdebatan politik yang tak kunjung selesai. Perdebatan soal pola hubungan Islam dan negara ini telah muncul dalam perdebatan publik telah dimulai sebelum Indonesia merdeka. Perdebatan tentang Islam dan nasionalisme Indonesia antara tokoh nasionalis Muslim dan nasionalis sekuler pada 1920-an merupakan babak awal pergumulan Islam dan negara pada kurun-kurun selanjutnya. Tulisan-tulisan tentang Islam dan watak nasionalisme Indonesia menghiasi suarat kabar pergerakan nasional pada waktu itu, menanggapi pandangan dan paham sekuler yang dilontarkan kalangan tokoh nasionalis sekuler. Perdebatan Islam dan nasionalisme dan konsep negara sekuler diwakili masing-masing oleh tokoh Muslim Mohammad Natsir dan Ir. Soekarno dari kelompok nasionalis sekuler.

Perdebatan Islam dan konsep-konsep ideologi sekuler menemukan titik klimaksnya pada persidangan formal dalam sidang-sidang majelis Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bentukan pemerintah Jepang pada 1945. Perdebatan konstitusional tentang hubungan Islam dan negara kembali menghangat di kalangan kelompok nasionalis Muslim dan nasionalis sekuler. Para tokoh nasionalis Muslim seperti H. Agus Salim, KH. Mas Mansur, KH. Wachid Hasyim, menyuarakan suara aspirasi Islam dengan mengajukan usul konsep negara Islam dengan menjadikan Islam sebagai dasar negara bagi Indonesia merdeka. Usulan menjadikan Islam sebagai konsep negara dari kelompok nasionalis Muslim bersandar pada alasan sosiologis bangsa Indonesia yang mayoritas memeluk Islam sebagai agama dan keyakinannnya.

Alasan ini ditepis oleh kelangan nasionalis sekuler yang mengajukan konsep negara sekuler. Menurut kaum nasionalis sekuler, kemajemukan Indonesia dan perasaan senasib melawan penjajah mendasari alasan mereka menolak konsep negara agama (Islam) yang diajukan oleh kalangan nasionalis muslim. Bagi mereka, Indonesia yang majemuk baik agama, suku dan bahasa harus melandasi berdirinya negara non-agama (sekuler). Pada kesempatan perhelatan konstitusional ini, Soekarno merujuk pengalaman Turki modern di bawah Kemal Attaturk dengan konsep negara sekulernya. Lebih lanjut Soekarno kembali menyuarakan konsepnya tentang lima dasar negara Indonesia, yang kemudian dikenal dengan Pancasila.

Tentu saja paham kebangsaan Pancasila tidak mudah diterima kelompok nasionalis muslim. Bagi mereka, selain alasan mayoritas penduduk Indonesia memeluk Islam, Islam sebagai agama ciptaan Al­lah yang bersifat universal dan lengkap harus dijadikan dasar dalam tata kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia. Akhir dari perdebatan konstitusional BPUPKI menghasilkan kehawatiran bagi kelompok nasionalis di luar muslim, khususnya dari nasionalis kristen dari kawasan Indonesia Timur. Kehawatiran mereka diwujudkan melalui keinginan mereka mendirikan negara sendiri dengan memisahkan diri dari konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Akhir dari perdebatan di sidang BPUPKI berakhir dengan kesediaan kalangan nasionalis muslim untuk memaksakan kehen­dak mereka menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Demi persatuan dan kesatuan serta terselengga­rakannya kemer­dekaan bagi bangsa Indo­nesia dari cengkraman penjajah, mereka menerima konsep negara yang diajukan kalangan nasionalis sekuler, dangan catatan negara menjamin dijalan­kannya syari'at Islam bagi pemeluk Islam di Indonesia. Hasil dari kompromi antara kelompok nasionalis muslim dengan nasionalis sekuler dikenal dengan nama the gentlemen agreement yang tertuang dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.

Setelah merdeka hubungan Islam dan negara dibawah kepemimpinan Presiden Soekarno kembali mengalami kete­gangan. Sebagai negara yang baru merdeka Indonesia masih menghadapi rongrongan baik dari pihak penjajah yang hendak kembali mencengkramkan kekuasaannya maupun ancaman disintegrasi dari dalam negeri yang merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah nasional dibawah Presiden Soekarno (1945-1950). Pada kurun antara 1950-1959, ketika Indonesia menjalan­kan prinsip demokrasi parlementer, ketegangan Islam dan kelompok nasionalis sekuler kembali terulang dalam bentuk perseteruan sengit antara kelompok partai politik Islam, seperti partai Masyumi dan partai NU, dengan partai politik sekuler: Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasionalis Indo­nesia (PNI dan sebagainya). Perseteruan ideologis Islam versus ideologi sekuler kembali terjadi dalam persidangan Konstituante hasil pemilu demokratis yang pertama pada 1955.

Pemilu yang dinilai banyak ahli sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah politik nasional Indonesia ternyata tidak menjamin terselenggarakannya proses pembuatan konstitusi dengan baik. Sekalipun Majelis Konstituante hampir rampung menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya, ketidak stabilan politik dan ancaman disintegrasi dianggap oleh Presiden Soekarno sebagai dampak langsung dari Demokrasi Parlementer yang diadopsi dari Barat. Menurut Soekarno, demokrasi ala Barat tidak sesuai dengan ikiim politik Indo­nesia. Perseteruan sengit antara partai-partai politik harus diahiri dengan memberlakukan kembali UUD 1945 di bawah sistem Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) melalui dekritpresiden 5Juli 1959. Sejak saat itu Presiden Soekarno memiliki kekuasaan yang tak terbatas bahkan dinobatkan sebagai Presiden seumur hidup.

Untuk menjalankan kepemimpinannya Presiden Soekarno menjalankan prinsip fusi politik ciptaannya, Nasakom (nasionalis, agama, komunis). Nasakom terdiri atas tiga komponen penting dari hasil pemilu 1955: PNI, Islam (diwakili NU) dan PKI. Keberadaan PK1 sangat penting bagi pemerintahan Soekarno karena perolehan suaranya yang sangat signifikan dalam Pemilu. Model kepemimpinan "tiga kaki" presiden Soekarno ini menimbulkan kecemburuan politik dikalangan kelompok militer dibawahjenderal AH. Nasution. Perseteruan politik dan ideologi antara TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan PK1 berdampak pada pesekutuan politik antara kelompok Islam dengan militer untuk menghadapi PK1 yang tengah dekat dengan Presiden Soekarno. Seperti perseteruan ideologi sebelumnya, Ideologi sosialis komunis menjadi alasan utama kelompok Islam untuk berkoalisi dengan TNI melawan paham komunis.

Sistem Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno berakhir dengan peristiwa politik yang tragis, Gerakan 30 September 1965. Cerakan makar ini menurut beberapa ahli merupakan buah dari Perseteruan ideologis panjang antara PKI dengan TNI Angkatan Darat, yang berujung pada pembunuhan sejumlah elit pimpinan TNI di Lubang Buaya, Halim, Jakarta. Peristiwa ini sekaligus merupakan awal kejatuhan politik Presiden Soekarno dan awal naiknya kiprah politik Presiden Soeharto. Melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). panglima Kostrad (Komando Strategis AD) Letnan Jenderal Soeharto kala itu memimpin pemulihan keamanan nasional dengan melakukan penumpasan terhadap semua unsur komunis di Indonesia. Dalam pemberantasan PKI peran ummat Islam tidak sedikit; bersama TNI ummat Islam di sejumlah daerah terlibat pembunuhan anggota PKI dan simpatisannya.

Akhir masa pemulihan keamanan berhasil menaikkan Panglima Kostrad Letnan Jenderal Soeharto ke tampuk kepemimpian nasional yang disahkan oleh Sidang Umum MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) di bawah pimpinan Jenderal AH. Nasution pada tahun 1968. Dengan slogan kembali ke Pancasila secara murni dan konsekuen, Presiden Soeharto memulai kiprah kepemimpina nasionalnya dengan sebutan Orde Baru, sebagai pengganti Orde Lama yang dianggap telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.

  Islam dan Negara Orde Baru: Dari Antagonistik ke Akomodatif

Naiknya Presiden Soeharto melahirkan babak baru hubungan Is­lam dan negara di Indonesia. Menurut Imam Aziz, pola hubungan antara keduanya secara umum dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) pola: antagonistic dan akomodatif. Hubungan antagonistikmerupakan sifat hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara Islam dan negara Orde Baru; sedangkan atomodar/fmenunjukkan kecenderungan saling membutuhkan antara kelompok Islam dan negara Orde Baru, bahkan terdapat kesamaan untuk mengurangi konflik antara keduanya. Namun demikian, sebelum mencapai pola akomodatif, menurut Abdul Aziz Thaba, telah terjadi hubungan agama dan negara Orde Baru yang bersifat resiprokal-kritis, yakni awal dimulainya penurunan ketegangan antara agama dan negara di Indonesia.

Hubungan antagonis antara negara Orde Baru dengan kelompok Islam dapat dilihat dari kecurigaan yang berlebih dan pengekangan kekuatan Islam yang berlebihan yang dilakukan Prediden Soeharto. Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap kalangan nasionalis sekuler terhadap kelompok Islam, khususnya di era 1950-an.      

Sikap curiga dan kehawatiran terhadap kekuatan Islam membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi (pendangkalan dan penyempitan) gerak politik Islam, baik semasa Orde Lama maupun Orde Baru. Sebagai hasil dari kebijakan semacam ini, bukan saja para pemimpin dan aktivis politik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan atau agama negara (pada 1945 dan dekade 1950-an), tetapi mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik "minoritas" atau "out­sider. Lebih dari itu, bahkan politik Islam, menurut Bahtiar Effendy, sering dicurigai oleh negara sebagai anti ideologi negara Pancasila.

Menurut Effendy, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan ummat Islam yang berbeda. Kecendrungan menggunakan Islam sebagai symbol politik dikalangan aktivis muslim di awal kekuasaan Orde Baru telah melahirkan kecurigaan dari pihak penguasa yang berakibat pada peminggiran Islam dari arena politik nasional. Kebijakan politik kontrol dan represif terhadap kekuatan politik Islam mewarnai arah dan kecendrungan politik Orde Baru. Kecenderungan pendekatan politik keamanan (security approaches) yang dilakukan Orde Baru dapat ditengarai pada sejumlah peristiwa kekerasan negara atas kelompok Islam di era 1980-an yang dianggap sebagai penentangAsasTunggal Pancasila ciptaan Orde Baru. Kekerasan politik dan peminggiran Islam dari pentas politik nasional yang dilakukan rejim Orde Baru atas kekuatan Islam melahirkan kesimpulan dikalangan ahli akan sifat antagonistik hubungan Islam dan negara Orde Baru. Sejak awal berdirinnya Orde Baru hingga awal 1980-an Islam dianggap sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan kekuasaan Orde Baru.

Pertengahan 1980-an merupakan awal perubahan pendulum hubungan Islam dan rezim Orde Baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan politik Presiden Soeharto yang dinilai positifbagi umat Islam. Menurut Effendi, kebijakan-kebijakan Orde Baru memiliki dampak luas bagi perkembangan politik Islam selanjutnya baik struktural maupun kultural.

   Kecenderungan akomodasi negara terhadap Islam juga—menurut Affan Gaffar— ditengarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan serta kondisi dan kecenderungan akomodasionis umat Islam sendiri. Pemerintah mulai menyadari akan potensi umat Islam sebagai kekuatan politik yang potensial. Sedangkan menurut Thaba, sikap akomodatif negara terhadap Islam lebih disebabkan oleh pemahaman negara terhadap perubahan sikap politik umat Islam terhadap kebijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunggal Pancasila. Perubahan sikap ummat Islam pada paruh kedua 1980-an, dari menentang menjadi menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bersinergi dengan sejumlah kebijakan Orde    Kekerasan politik dan peminggiran Islam daripentas politik nasional yang dilakukan rejim Orde Baru atas kekuatan Islam melahirkan kesimpulan dikalangan ahli akan sifat antagonistik hubungan Islam dan negara Orde Baru. Sejak awal berdirinnya Orde Baru bingga awal 1980-an Islam dianggap sebagai ancaman serins bagi keberlangsungan kekuasaan Orde Baru yang menguntungakan ummat Islam pada masa selanjutnya.

Pengesahan RUU Pendidikan Nasional, pengesahan RUU Peradilan Agama, Pembolehan pemakaian jilbab bagi siswi muslim di sekolah umum, kemunculan organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan lahirnya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang langsung dipimpin oleh Presiden Soeharto merupakan indikator adanya hubungan akomodatifyang dilakukan elit penguasa Orde Baru terhadap Islam.

Perilaku santun dalam berdemokrasi dapat diwujudkan melalui sikap menghindarkan diri dari tindakan main hakim sendiri, lebih-lebih dengan mengatasnamakan agama, kelompok, maupun partai politik tertentu.

Islam dan Negara: Bersama Membangun Demokrasi dan Mencegah Disintegrasi Bangsa

Peran agama, khususnya Islam, di Indonesia sangat strategis bagi proses transformasi demokrasi saat ini. Pada saatyang sama Islam dapat berperan mencegah ancaman disintegrasi bangsa sepanjang pemeluknya mampu bersikap inklusif dan toleran terhadap kodrat kemajemukan Indonesia. Sebaliknya, jika ummat Islam bersikap eksklusif dan cenderung memaksakan kehendak, dengan alasan mayoritas, tidak mustahil kemayoritasan ummat Islam akan lebih berpotensi menjelma sebagai ancaman disintegrasi daripada kekuatan integratif bangsa.

Hal senada berlaku pula bagi negara. Negara memiliki potensi sebagai penopang proses demokrasi yang telah menjelma sebagai tuntutan global dewasa ini. Namun di sisi lain, negara pun berpotensi menjadi ancaman bagi proses demokrasi jika ia tampil sebagai kekuatan represif dan mendominasi berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Lahirnya kekuatan demokrasi yang diperankan oleh berbagai komponen masyarakat madani di Indonesia, seperti LSM, ormas sosial keagamaan, partai politik, mahasiswa, pers, asosiasi profesi dan sebagainya, harus disikapi oleh negara secara demokratis dan terbuka sepanjang tidak mengancam disintegrasi bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk mewujudkan pola hubungan yang dinamis antara agama dan negara di Indonesia, kedua komponen Indonesia tersebut seyogyanya mengedepankan cara-cara dialogis manakala terjadi perselisihan pandangan antara kelompok masyarakat sipil dengan negara. Untuk menopang proses demokratisasi negara sebagai komponen penting di dalamnya harus menyediakan fasilitas demokrasi seperti kebebasan pers, kebebasan berorganisasi, kebebasan berbicara dan mengluarakan pendapat serta peningkatan fasiltas umum maupun kawasan publik bebas (free public sphere) untuk memfasilitasi beragam opini warga negara.

Pada saat yang bersamaan, unsur-unsur masyarakat sipil di atas dituntut untuk bertanggung jawab dalam menggunakan hak-hak kebebasannya secara santun dan beradab. Perilaku santun dalam berdemokrasi dapatdiwujudkan melalui sikap menghindarkan diri dari tindakan main hakim sendiri, lebih-lebih dengan mengatasnamakan agama, kelompok. maupun partai politik tertentu, sekadar untuk memaksakan kehendak-nya atas nama individu maupun kelompok lain. Searah dengan tuntutan kedewasaan mengungkapkan pendapat di kalangan komunitas agama, peranan pers dan kelompok intelektual (pelajar, mahasiswa, ormas dan orpol) dalam menyuarakan pendapat publik secara santun, seimbang danjujur adalah mutlak dalam praktik berdemokrasi.

Tindakan main hakim sendiri sangatlah berlawanan dengan prinsip demokrasi yang lebih mengedepankan cara-cara musyawarah atau menyerahkan segala sengketa hukum antarwarganegara maupun antara warganegara dengan negara kepada lembaga hukum. Sikap mengancam atau merusak fasilitas umum dalam mengeluarkan pendapat, lebih-lebihmenggantikan peran penegak hukum atau melakukan tindakan teror terhadap aparat hukum dalam upaya pencarian keadilan, sama sekali bertentangan dengan semangat penegakan demokrasi dan keseimbangan hak dan kewajiban warga negara.

Dengan ungkapan lain, negara dan agama, melalui kekuatan masyarakat sipilnya, adalah dua komponen utama dalam proses membangun demokrasi di Indonesia yang berkeadaban. Membangun demokrasi adalah proses membangun kepercayaan (trust) diantara sesama warga negara maupun antara warga negara dan negara. Demokrasi yang dicita-citakan para pendiri bangsa Indonesia adalah tidak sekedar kebebasan tanpa batas, tetapi kebebasan yang bertanggungjawab. Agama, seperti diyakini oleh pemeluknya, banyak memberikan ajaran moral tentang tanggungjawab individu dan social